MEMANG lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata. Demikian penggalan lagu tempo doeloe yang sangat populer. Syair lagu ini hendak mengingatkan kita bahwa lidah itu lentur dan sukar untuk dikendalikan. Nabi Muhammad SAW, malah menegaskan : “Wahal yakubbunnasu finnaari alaa wujuhihim au alaa manaa khirihim illaa hashaidu alsinatihim”. Tidaklah manusia itu dilontarkan (dijungkirkan) kepalanya ke api neraka kecuali akibat perbuatan lidah mereka. Nauzu billah min zalik. Semoga Allah SWT melindungi kita dari bencana yang diakibatkan oleh lidah kita. Amiin.
Karena itu penggunaan lidah yang benar merupakan bagian dari nilai ketaqwaan. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah yang benar niscaya Allah akan memperbaiki segala amalanmu dan mengampuni segala dosamu, dan barang siapa taat kepada Allah dan Rasulnya, maka ia telah memperoleh kemenangan yang besar,” (QS.Al- Ahzab/33:70-71).
Berbicara menggunakan lidah yang tak bertulang itu, memang hak semua orang. Namun harus disadari bahwa setiap ucapan yang dibunyikan oleh lidah kita selalu punya pengaruh bagi yang mendengarkan. Pengaruhnya bisa baik bisa buruk. Dan kadar pengaruh itu juga sangat dipengaruhi oleh posisi dan jabatan si pengucap dalam masyarakat.
Ucapan seorang petani, tentu saja berbeda kadar akibatnya dengan ucapan seorang kepala desa. Begitu pula dengan kepala desa, kadar akibat dari ucapanya akan berbeda dengan kadar atau pengaruh ucapan seorang camat dan bupati, terlebih lagi tokoh masyarakat, ulama atau pemimpin Negara. Tentu akan jauh sekali akibat yang akan ditimbulkannya.
Perkataan seseorang adalah cerminan atau gambaran dari kepribadianya atau jati dirinya. Karenanya, untuk menjaga kehormatan, seseorang harus menjaga perkataanya dari hal yang sia-sia, tidak bermanfaat (abats) dan kelewat batas (kebablasan). Nabi Muhammad SAW, besabda : “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik, atau jika ia tidak bisa melakukanya, hendaknya ia diam saja”. (HR Muslim). Karenanya, bila berbicara itu dinilai sebagai perak, maka diam itu dinilai sebagai emas. Begitu ungkapan populer di kalangan orang-orang bijak.
Tentu saja kita tidak boleh diam terus menerus ketika orang meminta nasehat atau pendapat. Begitu juga ketika kemungkaran merajalela, kita harus angkat suara. Kita tampil denga modal ‘lidah’ (lisan maupun tulisan), ‘tangan’ (kekuatan doa dan munajat kepada Allah). Inilah tiga instrument yang disebutkan Nabi Muhammad SAW yang patut digunakan untuk menyuarakan dan menegakkan kebenaran. “Man ra’a minkum munkaran, falyugaiyyiruhu biyadihi, fainlam yastathi fabilisanihi, wainlam yastathi fabiqalbihi.” Apabila kamu melihat kemungkaran dimuka bumi, maka perbaikilah dengan tanganmu, bila tidak sanggup dengan lisanmu, dan bila itupun tidak sanggup, maka bencilah dengan hati.
Namun upayah menyuarakan kebenaran itu, hendaknya lidah kita dipelihara dan dikendalikan dengan sebaik-baiknya agar tidak keluar dari konteks dan momentumnya. Sehingga yang mendengar merasa enak dan mengucapkanya memperoleh pahala dari Allah SWT. Ada sebuah ungkapan yang selalu diingat, “salamatul insaan fi hifdzhil lisan”. Keselamatan seseorang tergantung dari bagaimana ia menjaga lidahnya. Wallahul Musta’an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar