Lantas mengapa beliau begitu dimuliakan ? Apakah karena keturunannya, Karena menjadi bapak para Nabi ? Ataukah hartanya, kekuatanya, Atau keperkasaanya ? Tidak ! Beliau termuliakan karena keimanan dan ketaatanya kepada Allah swt.
Keimanan Nabi Ibrahim terbangun dari proses pencarian dirinya secarara rasional terhadap eksistensi Allah swt. Beliaulah yang pertama kali dapat membuktikan keesaan Allah SWT secara rasional dan menolak ketuhanan tuhan-tuhan lainnya secara rasional pula (lihat, QS. Al-An’am : 74-78). Wajar jika sejarah mencatat Beliau sebagai Bapak “Monoteisme” (Tauhid).
Keimanan Nabi Ibrahim kepada Allah swt., dibarengi pula dengan ketaatan yang luar biasa yang mewujudkan pada tindakan yang niscaya teramat sulit ditunaikan manusia pada umumnya. Keteguhan untuk menjalankan dakwah meski berlawanan dengan orang tuanya, dan berhadapan dengan penguasa yang dzalim. Keteguhan menjalankan amanah Allah berupa kesetiaan menjaga istrinya yang sedang mengandung keturunannya, menemaninya hingga kesuatu tempat yang sangat jauh dari keramaian.
Karena keimanan dan ketaatan itu pula membuat Nabi Ibrahin rela megorbankan segala miliknya. Bahkan rela mengorbankan putera tercintanya, Ismail, dengan cara disembelih demi melaksanakan amanah Allah swt. Kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah swt., telah mengalahkan kecintaanya kepada anaknya.
Menjadi wajar manakalah Allah swt., memuliakannya sebagai ikon (simbol) keteladanan bagi ummat sesudahnya. “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian .“ (QS. As-Shofat : 108).
Idul Adha adalah salah satu bentuk award (pemuliaan) Allah swt., atas Nabiyullah Ibrahim. Sebuah proses Pengabadian tentang “cinta makhluk kepada sang Khalik yang melebihi segalanya”. Itulah sebabnya, Allah swt., menjadikan peristiwa penyembelihan Ismail oleh Nabi Ibrahim, sebagai ubudiyah mahda yang saban tahun kita rayakan dengan menyembelih hewan kurban. Dalam Idul Adha, ketabahan Nabi Ibrahim merelakan puteranya disembelih, dapat kita wujudkan dalam kerelaan kita berbagai daging kurban untuk membahagiakan para tetangga, lingkungan dan saudara-saudara umat Islam lainnya.
Pemuliaan terhadap Nabi Ibrahim, ternyata tidak hanya dengan Idul Adha. Ibadah Haji juga merupakan bentuk lain pemuliaan itu. Sebab Beliaulah bersama puteranya Ismail yang membangun (kembali) fondasi-fondasi Ka’bah (lihat, Q.S. Al-Baqarah : 127).
Ibnu Abbas mengungkapkan bahwa setelah Nabi Ibrahim selasai membangun Ka’bah maka Allah berfirman kepadanya : “Serulah manusia untuk pergi haji”. Nabi Ibrahim agak ragu, apakah suara panggilannya akan didengarkan atau tidak. Ibrahim berkata : “Wahai Tuhanku, bagaimana suaraku ini bisa sampai ?” Kemudian Allah berfirman : “Seru sajalah, Aku (Allah) yang akan menyampaikannya” . Kemudian naiklah Nabi Ibrahim ke Jabal Qubaisy dan menyeru : “Wahai manusia ! Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu untuk berhaji dirumah Allah ini, agar Allah mengganjar kepadamu syurga dan melepaskan dari siksa neraka, maka berhajilah “. Kemudian orang-orang menyahuti panggilan itu sembari membaca Talbiyah.
Demikianlah, Idul Adha yang saban tahun kita rayakan dan Ibadah Haji yang wajib ditunaikan bagi yang mampu, sesungguhmya tidak semata-mata sebuah ibadah. Tetapi sekaligus momentum untuk meneladani perjuangan dan mengenang hasil perjuangan Nabi Ibrahim. Sebuah perjuangan yang berlandaskan cinta akan Allah swt.
Imam Al-Baidhawi berkata, “Cinta adalah keinginan untuk taat”,sementara, al-Zujaj berkata , “Cinta manusia kepada Allah dan Rasul-nya adalah mentaati keduanya dan ridha kepada semua perintah Allah dan ajaran yang dibawah oleh Rasul-Nya. “ Jadi, Kecintaan dan ketaatan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Dan pengalaman Nabiyullah Ibrahim, menegaskan : “tak ada cinta tanpa ketaatan, dan tak ada ketaatan tanpa pengorbanan”. Wallahul Musta’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar