Sabtu, 22 Mei 2010

Kearifan Lokal Masyarakat Adat (Tau Taa Wana) Di Sulawesi Tengah

Abstrak : Kelompok masyarakat yang berbentuk paguyuban masih terikat dengan tatanan hukum adat, adat istiadat, dan kepemimpinan lembaga adat, memiliki wilayah hukum adat serta memiliki hubungan lahiriah dan bathiniah dengan wilayah hukum adatnya. Opot adalah satuan mukim masyarakat hukum adat Tau Taa Wana yang berbentuk persekutuan kecil dan Lipu adalah satuan mukim masyarakat hukum adat Tau Taa Wana yang berbentuk persekutuan besar atau persekutuan setingkat kampung. Pemukiman masyarakat hukum adat Tau Taa Wana menyebar dibagian hulu Sungai Bongka dan hulu Sungai Salato yang terletak di bagian timur Propinsi Sulawesi Tengah, tepatnya berada di antara Pegunungan Balingara, Batui dan Pompongeo. Wilayah mukim tersebut melintasi 3 (tiga) wilayah administrasi kabupaten, yakni Kabupaten Tojo Una-una, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai. Keberadaan masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana di kawasan tersebut, telah berlangsung secara turun temurun jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mereka percaya bahwa wilayah tersebut adalah "Tana nTau Tua" (tanah leluhur) yang dibuktikan dengan adanya artefak-artefak kuno peninggalan leluhur pada tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan sebagai "Pangale Kapali" (hutan larangan). Sebagai komunitas yang secara turun temurun bermukim di dalam kawasan hutan, sudah tentu keberlanjutan kehidupan masyarakat hukum adat Tau Taa Wana amat bergantung pada kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hutan, baik material maupun kultural. Secara material kebutuhan pangan, sandang, papan, obat-obatan, sarana produksi pertanian, bahan bakar, peralatan rumah tangga, maupun peralatan ritual diperoleh dari sumber daya hutan yang menjadi kekayaan wilayah hukum adatnya. Sedangkan secara kultural, hutan merupakan faktor pembangunan struktur kebudayaan masyarakat hukum adat Tau Taa Wana.
Adat istiadat dan kearifan lokal pengelolaan sumber daya hutan yang diterapkan oleh masyarakat hukum adat Tau Taa Wana secara turun temurun, terbukti mampu mendatangkan keadilan dan kelestarian lingkungan, sehingga sesungguhnya merupakan modal sosial yang amat bermanfaat bagi pembangunan yang berkelanjutan. Namun dengan semakin maraknya kepentingan luar melangsungkan pengelolaan sumber daya alam di dalam dan di sekitar wilayah hukum adat Tau Taa Wana yang lebih mengutamakan pengerukan, dikhawatirkan akan mengancam keberlanjutan kehidupan masyarakat hukum adat Tau Taa Wana.

Untuk menyelamatkan keberlanjutan kehidupan hukum adat Tau Taa Wana dan kelestarian lingkungan wilayah masyarakat hukum adat Taa Wana, sera tata nilai dan/atau norma-norma adat istiadat dan lembaga adat, serta kearifan-kearifan lokal yang merupakan warisan leluhur komunitas masyarakat hukum adat Tau Taa Wana, maka dipandang perlu segera menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana.

Jumat, 21 Mei 2010

Ketika Al Qur’an Curhat


SEKIRANYA Al Qur’an punya hati dan mulut untuk bicara, apakah yang anda bayangkan terhadapnya? Setiap orang pasti punya imajinasi yang berbeda. Terinspirasi dengan tulisan imajinatif di internet, saya membayangkan bahwa dia (Al Qur’an) akan banyak menuangkan curahan hati (curhat) kepada manusia. Isi curhatnya, kira-kira begini:

Wahai manusia, waktu engkau masih kanak-kanak, betapa sayangnya kau padaku. Kau selalu dalam keadaan suci jika hendak menyentuhku. Setiap hari, kau pelajari diriku dengan hikmad, dan engkau baca dengan suara lirih. Sesekali suaramu keras tapi alunanya merdu. Setelah usai kau tak pernah lupa menciumku dengan mesra sekali.

Sekarang kau telah dewasa. Nampaknya kau sudah tak berminat lagi padaku. Mengapa? Apakah aku telah kau anggap sebagai catatan usang yang hanya pantas dibaca anak kecil?

Sekarang Engkau menyimpanku dengan rapi sekali. Kau pendamkan aku dalam laci atau di atas lemari. Yah! Kini aku lebih banyak kau singkirkan. Lebih banyak kau biarkan dalam kesendirian hingga kesepian. Sampai-sampai engkau sering lupa di tempat mana kau menyimpanku.

Seingatku, dalam setahun hanya di bulan ramadhan engkau membacaku. Itupun hanya sesekali. Kadang aku kau anggap sebagai perhiasan rumahmu. Dan ketika engkau nikah, aku kau jadikan mas kawin agar engkau di anggap orang taqwa. Kalau pun engkau membawaku bersamamu, itu karena kau mau menjadikanku sebagai penangkal hantu dan syetan.

Dulu ketika kau masih bergelimang dalam kemiskinan, engkau rajin sekali membacaku. Pagi-pagi, surah-surahku sudah kau baca beberapa halaman. Sore hari menjelang maghrib sering kali kau membaca aku beramai-ramai bersama teman-temanmu di Mushalla atau Surau.

Sekarang, ketika derajatnmu menjadi kaum berpunya, kau mengabaikanku. Setiap pagi, kau lebih suka nonton berita pagi di TV sambil menyerup kopi panas. Ketika berangkat kerja, kau sudah lupa pembuka surahku (Basmalah). Bahkan diperjalanan, kau lebih asyik menikmati musik pop, dangdut atau rock. Tak ada kaset berisi ayat-ayatku di laci mobilmu.

Di komputer kerjamu pun kau lebih senang memutar musik favoritmu. Jarang sekali kau melantunkan ayat-ayatku. Ketika kau sedang rapat dan ayat-ayatku melantun dari toa masjid di dekat kerjamu, kau malah menutup jendela ruang rapatmu. Kau menganggapku sebagai pengganggu rapatmu. Kau benar-benar telah melupakanku!

Sungguh, aku tidak melarangmu menonton berita pagi di TV atau melarang mendengar musik favoritmu. Aku juga tidak bermaksud melarangmu mengakrabi urusan dunia-duniamu, bukankah Rasulullah memang mengatakan, “kejarlah duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya.” Tapi engkau baca jugalah aku di antara kesibukan duniamu, sebab Rasulullah juga menegaskan, “kejarlah akhiratmu seakan-akan engkau mati besok”.

Wahai manusia, dengan mengatakan itu, aku tidak bermaksud mengiklankan diriku padamu, seperti buku-buku populer di toko-toko. Sunguh, jika engkau rajin membaca dan menghayati surah-surahku, aku berjanji, di alam kubur nanti aku akan datang sebagai pemuda yang gagah nan tampan, yang akan membantu engkau membela diri. Ini bukan janji politisi yang kerap kali ingkar.

Kalau masih tak percaya, dengarlah perintah Rasulullah, “Bacalah kalian Alqur’an, maka sesungguhnya Alqur’an akan datang pada hari kiamat untuk memberikan syafaat (sebagai pembela) pada orang yang mempelajari dan mentaatinya.” Wallahul Musta’an.***

Kamis, 20 Mei 2010

N I K A H

Nikah itu Ibadah ……… Nikah itu Suci ………
Memang Nikah itu bisa karena harta,
bisa karena kecantikan,
bisa karena keturunan dan
bisa karena agama
Jangan engkau jadikan harta,
keturunan maupun
kecantikan sebagai alasan ……
Karena semua itu akan menyebabkan celaka.
Jadikan agama sebagai alasan ……
Engkau akan mendapatkan kebahagiaan
Tidak dipungkiri bahwa
Keluarga terbentuk karena cinta ………
Namun …… jika cinta enkau jadikan
sebagai landasan utamanya,
maka …… Keluargamu akan rapuh,
akan mudah hancur.
Jadikanlah “Allah”
sebagai landasan utamanya ………
Niscaya Mawaddah (kasih)
Syakinah (Ketentraman)
dan Rahma (sayang) akan tercapai.

Cinta Sejati

PUJI syukur kepada Allah serta sholawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad saw. Nabi Muhammad pernah menegaskan “Jika sekiranya aku akan mengambil kekasih, niscaya aku akan memilih Abu Bakar sebagai kekasih” namun kekasih itu hanyalah Allah swt. Justru karena limpahan cinta Rasulullah saw., maka Baginda mampu mencintai seluruh umatnya.
Tulisan ini tujuanya khusus untuk remaja. Namun ia juga relevan untuk dipahami oleh ibu bapak mereka yang sering mengeluh, kenapa remaja hari ini begitu sulit mendengar kata, khususnya cinta.
Untuk membetulkan pandangan mereka tentang cinta, orang tua terlebih dahulu mesti mendapat pandangan yang tepat tentang cinta. Orang tua yang memiliki pendapat tentang cinta, maka remaja pun punya pendapat sendiri tentang cinta itu. Ingat, perbedaan seharusnya bukan untuk menuju pertentangan, asalkan kedua-duanya kembali kepada kebenaran Illahi Rabbi.
Kepada remaja pula, ingin saya berpesan: Anda perlu menghormati pandangan ibu bapak Anda. Mereka memiliki kelebihan dibanding Anda. Apa kelebihannya ? mereka pernah muda, sedangakan Anda belum pernah tua.
Pahami perasaan yang berada di lubuk jiwa mereka. Walaupun mungkin mereka dulunya sering juga salah dalam cinta, tapi mereka tidak pernah mau dan membiarkan anak-anak mereka terjatuh ke dalam lumpur yang mungkin pernah mereka terperosok di dalamnya. Tegakah hati kita melihat anak yang ditimang selama ini dilarikan cinta yang menggila ?
Pahami bahasa orang tua dalam marahnya. Selama rasa orang tua dalam rajuknya. Jika cintamu terhalang oleh mereka, ketahuilah di balik halangan itu adalah cinta jua. Jangan mengalah jika cintamu benar, tetapi perjuangkanlah cinta itu dengan cara yang benar pula. Tetapi jika sudah terasa cintamu salah, mengalahlah. Tidak akan kalah dengan mengalah, bahkan mengalah pada kebenaran, itulah kemenangan yang sebenarnya. Anakku, jangan sampai cintamu itu memisahkan, karena cinta yang sebenarnya akan senantisa mempertemukan.
Kita berbicara tentang jurang digital antara generasi, tetapi itu tidak relevan dalam menyatakan soal cinta yang suci . . . karena cinta dulu, kini dan selamanya adalah soal rasa yang kekal dan mutlak pada prinsip dan asanya. Cinta akan menjadikan yang tua terasa muda, cinta bisa memberikan tenaga dan energi luar biasa yang menggerakkan kemauan yang tiada taranya. Bila mau, seribu daya. Bila hendak, sejuta cara. Jika tepat pada masa, ketika, keadaan dan siapa, cinta adalah kuasa luar biasa yang tiada bandingannya.
Kepada remaja, ibu bapak dan siapa saja yang membaca tulisan ini. . . . . Kenali cinta kemudian cintailah cinta.
Jika seseorang itu sering jatuh cinta, artinya dia belum berhasil mencintai diri sendiri. Kita tidak boleh mencintai orang lain sebelum mencintai diri sendiri. Dan kita tidak boleh mencintai diri sendiri, sebelum mencintai Allah swt., “Ya Allah berikanlah cinta-Mu kepadaku, jadikanlah orang yang mencintai-Mu mencinai aku, dan jadikanlah aku mencintai segala sesuatu yang membawa kepada kecintaan-Mu”. Amiin yaa rabbal ‘alamin.***


Hadits riwayat Abu Musa ra., ia berkata: Aku menemui Nabi saw. Bersama dua orang lelaki anak pamanku. Seorang dari keduanya berkata: Wahai Rasulullah, angkatlah kami sebagai pemimpin atas sebagian wilayah kekuasaanmu yang telah diberikan Allah azza wa jalla! Yang satu lagi juga berkata seperti itu. Lalu Rasulullah saw., bersabda: Demi Allah, kami tidak mengangkat seorang pun yang meminta sebagai pemimpin atas tugas ini dan tidak juga seorang yang berambisi memperolehnya.***

Ketika Cinta Sudah Terpatri

Cinta itu laksana pohon di dalam hati. Akarnya adalah ketundukan kepada kekasih yang dicintai, dahanya adalah mengetahuinya, rantingnya adalah ketakutan kepadanya, daun-daunnya adalah malu kepadanya, buahnya adalah ketaatan kepadanya, dan air yang menghidupinya adalah menyebut namanya. Jika di dalam cinta ada satu bagian yang kosong berarti cinta itu berkurang.
Apabila Allah swt. Cinta kepada kita maka seluruh makhluk di langit dan di bumi akan mencintainya. Rasulullah saw bersabda: “Jika Allah swt., mencitai seorang hamba, maka Jibril berseru, ”Sesungguhnya Allah s.w.t. mencintai Fulan, maka cintailah dia!” Maka para penghuni langit mencintainya, kemudian dijadikan orang-orang yang menyambutnya di muka bumi.” (HR.Bukhari-Muslim).
Dalam Sunan Abu Daud dari hadits Abu Dzar r.a., dia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Amal yang paling utama ialah mencintai karena Allah s.w.t. dan membenci karena Allah swt.”
Apabila seseorang itu mencintai sesuatu atau seseorang, maka sudah tentu ia akan senantiasa mengingatinya di hati atau menyebutnya dengan lidah. Lantaran itu, Allah swt. Memerintahkan hamba-hamba untuk segera mengingat-Nya dalam keadaan apa pun juga, susah maupun senang. “Katakanlah (Wahai Muhammad): ”Jika benar kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, niscaya Allah mengasihi kamu. Dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun lagi Maha Mengasihi” (QS Ali Imran:31)
Di sinilah letaknya rahasia seseorang yang menggantungkan hatinya untuk senantiasa rindu dan cinta kepada Ka’bah serta mesjid-mesjid, sehingga mereka rela berkorban harta dan meninggalkan orang tersayang serta kampung halamannya, demi meneruskan perjalanan menuju tempat yang paling dicintainya. Perjalanan yang berat pun akan terasa ringan dan menyenangkan.
Itulah kemudian orang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah. Semua itu memang mereka sangat mencintai Allah, sehingga mau memenuhi panggilannya. Labbaik Allahumma Labbaik…..(Kami datang memenuhi panggilanMU ya Allah). Sekali lagi,ketika cinta sudah terpatri, segalanya akan kita lakukan untuk dapat yang kita cintai itu.
Siapa di antara kita yang lebih mementingkan orang yang dicintai itu, maka ia sanggup berkorban nyawa sekalipun, demi membuktikan kecintaanya itu kepada sang kekasih yang dicintainya. Lantaran itu, kedudukan iman seseorang masih belum dianggap mantap kecuali menjadikan Rasulullah s.a.w. sebagai orang yang paling mereka cintai, lebih besar dari cinta kepada anak dan seterusnya keluarga dan harta benda.
Sekali lagi, itulah yang terjadi saat ini. Jutaan bahkan miliaran umat Islam, sedang membuktikan cinta mereka dengan memenuhi panggilan Allah. Mereka menjadi tamu agung dari Allah swt. Mereka telah mengorbankan segala yangmereka miliki. Mengorbankan harta, berkorban dengan meninggalkan keluarga mereka, berkorban dengan meninggalkan sanak famili mereka. Demi membuktikan cinta kepada Allah swt.
Kepada mereka kita hanya bisa mendoakan, semoga mereka bisa bertemu dengan kekasihnya, yaitu Allah yang Maha Rahim, yang terjawantahkan dengan menjadi haji mabrur. Haji yang diterima Allah swt. Dengan begitu, sekembalinya mereka dari Tanah Suci, akan menjadi manusia yang kaffah. Kaffah dalam ibadah, kaffah dalam kehidupan sosial dan kaffah dalam segala hal. Semoga Allah swt meridhoi kita dan memberikan cinta sejati kita untuk bertemu dengan Yang Maha Terkasih, Allah Azaawjalla. Wallahulmusta’an.

MUTIARA HADITS
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya, Dan hendaklah engkau sekalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada para wanita. Sebab mereka itu diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang Paling atas. Jika engkau meluruskan-nya berarti engkau mematahkannya dan jika engkau membiarkannya, ia tetap akan bengkok. Maka hendaklah kalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada wanita.” (Muttafaq Alaihi)

Nasehat Cinta

TIDAK dapat dielakkan lagi! Sudah jatuh cinta. Jadi bagaimana? Ya, remaja dan cinta-dua perkara yang bagaikan sudah menyatu. Kisah suka duka-duka cinta remaja sering menjadi ilham para penyair. Rasa itu diubah menjadi bait-bait lirik dan alunan pencipta lagu. Menjelma menjadi untaian kata para penyajak.
Habis segala ciptaan tuhan dijadikan untuk melukiskan metafora dan analogis. Embun, pelangi, salju, bulan dan bintang semuanya dijadikan lambang bagi memuja kekasih. Tidak percaya? Dengarlah lagu yang dialunkan melalui radio atau MP3. . . hampir 80 persen adalah lagu cinta.
Begitulah eratnya remaja dan cinta, hingga kita seolah-olah tidak dapat lagi membayangkan adanya hubungan remaja dengan yang lain, selain cinta. Seolah-olah remaja tidak ada hubungan dengan iman, remaja dengan perjuangan, remaja dengan dakwah, remaja dengan keusahawanan, remaja dengan kepemimpinan dan sebagainya. Yang ada hanya hubungan remaja dan cinta!.
Ya, perubahan biologi dan psikologi di alam remaja, menyebabakan mereka pengembara alam cinta yang serba baru dan indah. Terkadang rasa cinta berbutik melalui perkenalan dengan rekan sekelas, teman sepengajian, atau cinta pandangan pertama, sewaktu sama-sama menunggu angkutan umum, ketika hujan rintik-rintik. Aduh, romantisnya. Begitu yang selalu yang kita dengar ketika cinta pertama diungkapkan.
Ketika disebut cinta, terbayang Romeo yang sanggup mati karena Juliet, Cleopatra yang sanggup bunuh diri karena Mark Anthony, atau Qais yang sanggup menjadi majnun karena terpisah dengan Laila. Itulah deretan kisah cinta rekaan dan khayalan. Namun rilnya juga tidak kurang hebat. Banyak remaja yang sanggup meninggalkan ibu dan bapaknya karena mengikuti kekasih hati.
Kata pantun: “Nasi lemak buah bidara, sayang selasih hamba lurutkan, buang emak buang saudara, karena kasih hamba turutkan”. Malah ada yang sanggup menukarkan agama untuk memiliki cinta. Ah, manusia tanpa cinta, mungkin bagaikan bumi tanpa mentari. Kalau kita menonton film India . . . kadang-kadang cinta dinobatkan sebagai ‘Tuhan’. . .Segala-galanya karena cinta (Mere mohabbat he!)
Rasa cinta masuk kedalam jiwa tanpa diundang dan diminta. Keinginan itu tidak susah untuk dipelajari dan dicari. Lelaki inginkan cinta wanita dan begitulah sebaliknya. Walaupun kadang kala ia coba dilawan, namun rasa yang ajaib itu datang juga. Tidak kuasa hati menolaknya. Apalagi cinta itu disuburkan, maka makin subur dan menggila jadinya. Bila cinta mencekam diri, makan tak kenyang tidur tak lena.
Bijak pandai pernah mengingatkan, “Jangan diajak berbincang tiga golongan manusia. Pertama, yang sedang lapar, kedua yang sedang sakit dan ketiga sedang mabuk cinta.” Kenapa? Orang yang lapar hanya memikirkan perutnya. Orang yang sakit, sedang derita menanggung sakitnya, orang yang bercinta, hanya memikirkan orang yang dicintainya. Dia seolah-olah ‘mabuk’ dan sedang berada dialam yang lain.
Orang tampak dia tetapi dia tidak tampak orang . . ..Anda pernah bertemu dengan sepasang kekasih di stasiun kereta api atau bis atau di mana saja? Semua orang malu melihat gelagat keterlaluan mereka, tapi mereka tidak sadar diri.
Coba bayangkan . . .sedemikian indah dan damainya surga, namun Nabi Adam a.s., terasa begitu sepi dan inginkan teman. Lalu Allah swt., ciptakan Siti Hawa sebagai pasangan untuk dicintainya. Dan kita anak cucu pewaris rasa cinta itu, akan senantiasa rasa terpisah dan gelisah selagi tidak bersama dengan yang dicintai. “Rasa cinta pasti ada. . . pada makhluk yang bernyawa,” demikian kata dalam lirik lagu. Wallahul Musta’an

MUTIARA HADITS
Rasullah saw dari Nabi saw telah berkata:”Tidak sempurna iman seseorang diantaramu hingga mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”. (Bukhari-muslim)

Bahaya dari Merokok

ADA seseorang yang pernah bermimpi masuk surga dan merasakan berbagai macam kenikmatan, namun dia merasa ada yang kurang : Susah merokok sebagaimana kebiasaannya di dunia.
Dalam mimpinya, dia meminta izin kepada malaikat untuk merokok. Tapi malaikat berkata, “di Surga tidak ada api, kalau anda mau api pergi saja ambil di neraka”. Pada saat dia keluar dari surga dan melihat neraka yang begitu panas, dia ingin kembali lagi ke Surga. Pintu Surga sudah tertutup. Pada saat itu dia langsung terbangun dari tidurnya. Dan Alhamdulillah, karena mimpinya itu, dia taubat merokok. Berhenti merokok !
Seseorang yang selalu membiasakan dirinya merokok, pastilah akan kecanduan dan sulit untuk berhenti untuk meninggalkanya. Saya kira, semua orang sudah tahu bahaya rokok, karena di bungkusan rokok sudah tertulis peringatan : “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Tapi mengapa masih banyak juga orang yang merokok ?
Banyak juga orang yang berkeinginan berhenti merokok, tapi tak bisa. Namun beberapa diantaranya memang berhasil menghentikanya. Dari cerita-cerita mereka, resepnya sederhana : Pertama, tinggal di lingkungan bebas dari asap rokok; kedua, bertekad kuat dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak pernah lagi menyentuh rokok. Jika keduanya dilakukan dengan dibantu do’a, Insya Allah pasti bisa.
Banyak ulama yang berbeda pendapat tentang rokok, ada yang mengatakan haram dan ada yang bilang makruh dan mu’tamad. Ahli fiqih yang mengharamkannya, berpedoman pada firman Allah Swt, sebagai berikut : “. . .dia menghalalkan bagi mereka yang baik dan mengharamkan yang buruk” (QS: Al A’raf: 157); “Jangan kalian bunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang terhadap diri kalian” (QS: An-Nisa:29) dan “Jangan kalian lemparkan diri kalian dalam kehancuran” (QS: Al-Baqarah: 195)
Merokok, menurut kelompok uluma yang mengharamkan rokok, termasuk perbuatan yang membahayakan karena dapat menghancurkan dan membunuh diri kita, sebagaimana tertulis dalam peringatanya: “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Karena itu, merokok adalah perbuatan haram.
Habib Husein Bin syech Abu Bakar bin Salim, pernah membeli dan mengumpulkan seluruh rokok yang ada di Hadramaut untuk dimusnahkan, kemudian beliau berkata : “barang siapa sebelum 40 hari dari meninggalnya tidak mau bertaubat dari merokok, ditakutkan mati dalam keadaan suul khotimah. Semoga Allah melindungi kita”.
Selain kelompok ulama yang mengharamkan rokok, terdapat juga kelompok ulama yang hanya berpandangan hukum merokok adalah makruh dan mu’tamad. Alasanya, karena tidak terdapat nash yang mengharamkan. Mungkin karena rokok merupakan sesuatu yang baru. Budaya merokok baru muncul pada tahun 1012.***

Hakekat Hati Mukmin

HATI memiliki kecenderungan, gejala dan subtansi yang menjadikannya bisa bersifat rabbani sekali waktu atau syaithani di waktu lain. Agama ini datang untuk mengarahkan hati manusia untuk menuju hakikatnya yang lurus. Apakah hati yang lurus itu ?
Hassan Banna rahimahullah, dalam salah satu ceramahnya mengatakan, hati seorang mukmin adalah hati yang sensitif dan terbuka. Terbuka untuk menerima hakekat sesuatu dan jauh dari sifat keras. Kesimpulan ini merujuk dai sejumlah firman Allah, diantaranya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang telah kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang mukmin yang sebenarnya” (QS: 8:2-3)
“Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang patuh yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan shalat dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah kami rezekikan kepada mereka” (QS: 22:34-35)
Dalam hati seorang mukmin, terhadap dinamika sensitivitas dan perasaan dia jauh dari alpa. Jauh dari sifat kasar dan membatu, serta jauh dari kekurangan. Hatinya senantiasa peka, sehingga senantiasa melakukan koreksi diri atas berbagai dosa yang dilakukan. Sensitivitas merupakan keharusan hati orang-orang beriman seperti yang dinyatakan dalam QS Al-Hajj, ayat 35: “orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka”.
Adapun hati orang-orang yang tidak beriman, hati mereka keras membatu seperti dinyatakan dalam QS: Az-Zumar, ayat 22: “Maka celakalah orang-orang yang hati mereka telah keras membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu berada dalam kesesatan yang nyata”.
Hati seorang mukmin yang dikehendaki oleh Islam adalah hati yang senantiasa merasakan adanya hubungan dengan Allah yang maha Agung. Ia selalu bersama Allah dan tidak pernah berpisah sekejap pun. Demikianlah hati orang beriman, perasaan Muraqabahtullahnya semakin kuat.
Ia menyakini betul bahwa Allah senantiasa mendengar dan melihatnya, serta selalu mengawasinya dalam keadaan lapang maupun sempit. Ia juga menyakini bahwa Allah swt., kuasa melakukan segala yang dikehendakinya. Jika dia melakukan satu gerakan saja, gerakan itu tercantum dalam buku induk amalnya (diwanul amal). Dalam kondisi apapun, ia selalu bersama Allah swt., sebagaimana digambarkan dalam beberapa firmanNya:
“Apakah mereka mengira bahwa kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka ? Sebenarnya kami mendengar, dan utusan-utusan (malaikat) kami pun mencatat disisi mereka” (QS: Az- Zukhruf : 80); “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisiakan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya lebih dari urat lehernya (QS: Qaaf : 16); “Dan jika kalian mengeraskan ucapan kalian sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dari yang tersembunyi” (QS: Thaha : 7).
Orang yang beriman tentunya menyakini hal ini dan merasakannya. Disamping itu akan terlihat olehnya apa yang ada dibalik “tirai”. Ia akan melihat bahwa Allah swt., itu lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri, dan ia akan menimbang amal perbuatannya dengan timbangan syaria.
Demikian seorang mukmin itu hidup di dunia. Hatinya sensitif, ia tidak akan melakukan kejahatan dan tidak akan menolak kebaikan. Bahkan ia selalu terikat dengan Allah swt. Ia beriman dengan apa yang ada dibalik kehidupan dunia ini. Ia akan selalu merasa bahwa Allah swt., selalu melihat dan mengawasinya dimana saja ia berada, baik di rumah, di jalan, di pabrik, di ladang dan seterusnya.
Inilah yang dinamakan iman, kepekaan dan hubungan dengan Allah swt.,serta kesadaran akan pengawasan Allah terhadap kita. Semoga kita selalu meningkatkan kualitas hati, dan iman kita. Wallahul Musta’an.

Amalan Lahir vs Amalan Hati

DI zaman Nabi Musa a.s., ada seorang hamba Allah yang selama 40 tahun kerjanya mencuri. Suatu hari, dilihatnya Nabi musa a.s. sedang berjalan. Tiba-tiba terlintas di benaknya untuk berjalan bersama Nabi Musa a.s. “Jika aku dapat berjalan bersama Nabi Musa, mudah-mudahan ada berkahnya untukku,” katanya dalam hati.
Namun dia kembali ragu. “Aku ini pencuri, mana layak berjalan bersama seorang nabi,” pikirnya mengurungkan niatnya semula.
Sejurus kemudian, dia melihat seorang abid (ahli ibadah) berlari-lari kecil mengejar Nabi Musa a.s. dari belakang. Semua orang tahu, si abid ini telah beribadah secara istiqomah selama 40 tahun. Si pencuri itu berkata dalam hati, “sebaiknya, aku berjalan bersama si abid ini saja. Moga-moga ada baiknya untuk aku.”
Lantas si pencuri menghampiri si abid untuk meminta diperkenankan bejalan bersama. Tapi ketika dia mulai mendekat, si Abid terkejut dan merasa takut. “Celaka aku..! Kalau si pencuri berjalan bersamaku, bisa-bisa rusak segala kebaikan dan amalanku,”katanya dalam hati.
Maka si abid pun mempercepat larinya untuk menghindari si pencuri. Demikian halnya dengan si pencuri. Dia juga mempercepat larinya mendekati si abid. Akhirnya keduanya sampai kepada Nabi Musa a.s.
Nabi Musa a.s. segera berpaling dan bersabda kepada mereka berdua: “Aku baru saja mendapat wahyu dari Allah swt., supaya memberitahu kamu bahwa segala amalan baik dan buruk kalian berdua telah dihapus oleh Allah.”
Mendengar sabda itu, terkejutlah mereka berdua. Tentu saja si pencuri terkejut bahagia, karena segala dosanya mencuri selama 40 tahun telah ditolak oleh Allah.
Rupanya si pencuri itu tidak suka dengan pekerjaanya. Dia mencuri karena terpaksa, karena miskin dan tanggungannya banyak. Tak ada orang yang mau membantunya. Setiap kali dia mencuri, dia selalu merasa bersalah dan berdosa. Jiwanya tersiksa dan menderita selama 40 tahun itupula hatinya merintih meminta belas kasihan, keampunan dan mengharapkan kasih sayang Tuhan.
Akan halnya si abid, dia amat yakin ibadahnya mampu menyelamatkannya. Dia yakin ibadahnya akan dapat membeli syurga. Setiap kali dia beribadah, dia merasa dirinya bertambah baik. Setiap kali beribadah, dia rasa dirinya bertambah mulia. Selama 40 tahun dia mendidik hatinya agar merasa lebih baik dan lebih mulia. Hingga dia mulai merasa tidak layak bergaul, apalagi berjalan bersama orang hina dan pendosa. Dia merasa hanya layak berjalan bersama para Nabi.
Tapi begitulah, Allah maha mengetahui segala isi hati manusia. Yang tidak melihat akan amalan-amalan lahir tetapi apa yang ada di dalam hati. Yang menilai hamba-Nya mengikut apa yang termampu oleh hamba-Nya dan tidak lebih dari itu. Yang menguji manusia dengan kesusahan dan nikmat untuk mengetahui siapa di kalangan hamba-hamba-Nya yang benar-benar berjiwa hamba dan merasa bahwa Allah itu Tuhannya. Wallahul Muata’an.

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al kitab (al-qur’an) dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingati Allah (sholat) adalah lebih besar (keutamaanya dari ibadah-ibadah yang lain) dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Surah Al’Ankabut – 45)

Ayam Kampung vs Ayam Negeri

SUATU hari, seorang ayah dan anak laki-lakinya sedang memberi makan ayam peliharaan mereka. Ada ayam kampung, ada juga ayam negeri. “Nak, kalau harus memilih, mana yang kau lebih suka, menjadi ayam negeri atau ayam kampung,“ Tanya sang ayah iseng.
“Ini hanya sebuah permisalan. Bila kelak kau dewasa, ada dua cara hidup yang kau pilih. Seperti ayam negeri atau mau seperti ayam kampung,“ jelas ayahnya.
“Hmm. . . aku tahu ! Aku akan memilih cara hidup ayam kampung. Ia selalu bebas pergi kemana saja ia mau. .”, jawab sang anak dengan antusias dengan senyumnya.
Sang ayah ikut tersenyum, membenarkan pilihan anaknya. “Selain kebebasan, masih banyak hal lain yang bisa kita ambil dari kehidupan ayam kampung, dibanding ayam negeri , “ tambah sang ayah, sambil menjelaskan perbandingan cara hidup ayam kampung dan ayam negeri.
Pertama, ayam kampung selalu bebas pergi ke mana saja mencari makan, bermain, dan bercengkrama. Pada malam hari bisa tidur seadanya di mana saja. Sedangkan ayam negeri siang malam ada di kandang yang nyaman dan bersih. Kesehatan lingkunganya di jaga, bahkan temperatur ruangan harus selalu diatur dengan nyala lampu agar tetap hangat.
Kedua, ayam kampung mandiri dalam mencari makanan. Berjuang sendiri menyibak semak-semak, mengorek sampah, merambah selokan. Bahkan berpanas hujan menyantap apa saja yang didapat demi menyambung hidup yang keras dari hari ke hari. Sementara ayam negeri, disediakan makanan khusus oleh majikanya. Penuh gizi dan bebas hama. Jadwal teratur, dan tidak boleh menyentuh makanan sembarangan. Sekali-kali pada waktu-waktu tertentu, ayam negeri juga diberi suntikan agar lebih sehat dan produktif.
Ketiga, meskipun dimanjakan fasilitas hidup yang nyaman dan instan, ternyata ayam negeri sangat sensitif. Jika terjadi penyimpangan ritme (cara) hidupnya, maka sakitlah dia. Bahkan jika satu saja sakit, yang lain pun cepat tertular penyakit temanya dan akhirnya semua mati. Beda dengan ayam kampung. Tubuhnya sehat dan kuat. Berkat gemlengan alam, dia memiliki kekebalan terhadap perubahan kondisi. Dia pun memiliki rasa pengorbanan, tidak ragu untuk menyibak semak, mengorek sampah dan merambah selokan, berpanas dan berhujan sambil membimbing anak-anaknya mencari makan, agar mereka tegar seperti induknya.
“Jadi, meskipun ayam negeri bergelimang kenyamanan hidup, ternyata dia sudah kehilangan identitasnya sebagai mahluk bebas. Statusnya sudah diubah oleh manusia. Mesin penghasil telur dan daging secara massal untuk kepentingan manusia. Sedangkan ayam kampung tetap menikmati kodratnya sebagai mahluk bebas dan mandiri,” ungkap sang ayah mengakhiri penjelasanya.
Dua gaya hidup di atas tentu saja mengandung lesson learn (hikmah) yang bisa kita serap sebagai pelajaran meniti hidup. Semaunya terpulang kepada kita, khususnya generasi muda sebagai asset ummat ke depan. Apakah mau memilih gaya hidup ayam kampung atau ayam negeri ? Wallahul Musta’an.

Memelihara Lidah

MEMANG lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata. Demikian penggalan lagu tempo doeloe yang sangat populer. Syair lagu ini hendak mengingatkan kita bahwa lidah itu lentur dan sukar untuk dikendalikan. Nabi Muhammad SAW, malah menegaskan : “Wahal yakubbunnasu finnaari alaa wujuhihim au alaa manaa khirihim illaa hashaidu alsinatihim”. Tidaklah manusia itu dilontarkan (dijungkirkan) kepalanya ke api neraka kecuali akibat perbuatan lidah mereka. Nauzu billah min zalik. Semoga Allah SWT melindungi kita dari bencana yang diakibatkan oleh lidah kita. Amiin.
Karena itu penggunaan lidah yang benar merupakan bagian dari nilai ketaqwaan. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah yang benar niscaya Allah akan memperbaiki segala amalanmu dan mengampuni segala dosamu, dan barang siapa taat kepada Allah dan Rasulnya, maka ia telah memperoleh kemenangan yang besar,” (QS.Al- Ahzab/33:70-71).
Berbicara menggunakan lidah yang tak bertulang itu, memang hak semua orang. Namun harus disadari bahwa setiap ucapan yang dibunyikan oleh lidah kita selalu punya pengaruh bagi yang mendengarkan. Pengaruhnya bisa baik bisa buruk. Dan kadar pengaruh itu juga sangat dipengaruhi oleh posisi dan jabatan si pengucap dalam masyarakat.
Ucapan seorang petani, tentu saja berbeda kadar akibatnya dengan ucapan seorang kepala desa. Begitu pula dengan kepala desa, kadar akibat dari ucapanya akan berbeda dengan kadar atau pengaruh ucapan seorang camat dan bupati, terlebih lagi tokoh masyarakat, ulama atau pemimpin Negara. Tentu akan jauh sekali akibat yang akan ditimbulkannya.
Perkataan seseorang adalah cerminan atau gambaran dari kepribadianya atau jati dirinya. Karenanya, untuk menjaga kehormatan, seseorang harus menjaga perkataanya dari hal yang sia-sia, tidak bermanfaat (abats) dan kelewat batas (kebablasan). Nabi Muhammad SAW, besabda : “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik, atau jika ia tidak bisa melakukanya, hendaknya ia diam saja”. (HR Muslim). Karenanya, bila berbicara itu dinilai sebagai perak, maka diam itu dinilai sebagai emas. Begitu ungkapan populer di kalangan orang-orang bijak.
Tentu saja kita tidak boleh diam terus menerus ketika orang meminta nasehat atau pendapat. Begitu juga ketika kemungkaran merajalela, kita harus angkat suara. Kita tampil denga modal ‘lidah’ (lisan maupun tulisan), ‘tangan’ (kekuatan doa dan munajat kepada Allah). Inilah tiga instrument yang disebutkan Nabi Muhammad SAW yang patut digunakan untuk menyuarakan dan menegakkan kebenaran. “Man ra’a minkum munkaran, falyugaiyyiruhu biyadihi, fainlam yastathi fabilisanihi, wainlam yastathi fabiqalbihi.” Apabila kamu melihat kemungkaran dimuka bumi, maka perbaikilah dengan tanganmu, bila tidak sanggup dengan lisanmu, dan bila itupun tidak sanggup, maka bencilah dengan hati.
Namun upayah menyuarakan kebenaran itu, hendaknya lidah kita dipelihara dan dikendalikan dengan sebaik-baiknya agar tidak keluar dari konteks dan momentumnya. Sehingga yang mendengar merasa enak dan mengucapkanya memperoleh pahala dari Allah SWT. Ada sebuah ungkapan yang selalu diingat, “salamatul insaan fi hifdzhil lisan”. Keselamatan seseorang tergantung dari bagaimana ia menjaga lidahnya. Wallahul Musta’an

Ilmu dan Akhlak

BERGIATLAH kalian menuntut ilmu hai para murid Alkhairaat. Orang-orang berilmu menempati derajat yang tinggi. Niatkanlah dengan mempelajarinya, agar kamu mengikuti kebenaran agama, karena amal-amal itu tergantung niatnya.
Datangilah kebun-kebunnya dan bersenang-senanglah di situ. Jalannya benar-benar jalan yang menyampaikan. Warisan Rasul adalah tujuan yang paling mulia, maka siapa yang mencarinya hendaklah ia atasi hambatan-hambatanya.
Ilmu itu cahaya di dalam hati dan pemiliknya, mereka telah mencapai derajat di syurga. Mereka berteduh dengan naungannya dan bergantung pada talinya di seluruh waktu. Tuhan yang Maha Pemurah memberikan karunia-Nya berupa kemenangan, pertolonga dan keberkahan.
Tirulah orang-orang yang mengamalkan ilmu mereka dalam perkataan, perbuatan dan niat. Orang-orang yang mengenal Tuhan dan Maha Raja mereka dan mengikuti teladan pemimpin dari para pemimpin. Orang-orang yang ahli taqwa mukhlis dan berakal yang melakukan ketaatan yang paling utama. Di antara mereka imam-ku teladan dan harapanku perantara, penghubung dan tangga yang menaikkan aku.
Kusampaikan nasihatku kepadamu dengan tulus, maka terimalah dariku dan jangan heran atas ciri-ciriku. Aku mengakui kekurangan, kesalahan, ketidak mampuan dan kecerobohan dalam keadaanku. Akan tetapi, aku mempunyai hubungan dengan orang-orang yang kusebut dan kecintaan terbesar bagi mereka pada diriku.
Aku harapkan dengannya syafaat disisi Tuhan Yang Maha Pemurah dan kebaikan yang mengganti kesalahan-kesalahanku. Kami sampaikan kepada mereka shalawat kami setelah Nabi keluarganya di kala sedirian maupun di hadapan orang banyak.
Segala puji bagi Tuhanku, Alkhairaat menjadi marak, di halaman-halamannya terdapat singa-singa dan anak-anaknya. Wahai putra-putri Palu, Alkhairat adalah ibumu, ia mengajak mereka yang mempunyai tujuan dan kemauan. Karena Alkhairaat, negerimu terkenal dengan ilmu. Banyak orang dari berbagai penjuru dunia menuju kepadanya untuk mencari ilmu.
Dulu, tidak ada orang yang mengenalnya (Palu), tetapi sekarang ia berbabangga diri atas berbagai negeri. Ini adalah kenikmatan yang seandainya disadari oleh Abdurrahim, niscaya tidaklah pikiranya menjadi bingung.
Aku menyeru setiap muslim kepada ilmu dan ketaqwaan, dengan keadaan dan hartaku, pena dan mulutku. Kepada Allah aku menyeru mereka dan ini kitab-NYA (Alquran), setiap yang gelap menjadi terang bagi mereka lantaran cahayanya.
Aku serukan untuk mempelajari sunnah sebaik-baik Rasul di dalam terdapat petunjuk cahayanya. Dan ilmu, maka ketahuilah sungguh nikmat bagi siapa yang memenuhi panggilan dan bergegas mencari ridha Allah dan kedekatan untuk mendapat keberuntungan dan keberhasilan.
Kulihat kebodohan terbesar di antara masyarakat, tiada rasa takut kepada Tuhan dan neraka jahannam. Maka obatilah kebodahan hatimu dengan ilmu agama. Siapa yang tidak mengobati kebodohan dengan ilmu, ia akan menyesal.
Wahai putra-putri Alkhairaat, laksanakan kewajiban mengajar, jadilah kalian dalam kelompok terdepan, bagimu teladan pada orang-orang sebelum kamu, guru-guru yang memimpin manusia dengan pemahaman.
Dengan ilmu setiap bangsa menjadi tinggi di antara manusia dan mencapai kemuliaan di antara bangsa-bangsa. Manusia terkadang mengungguli teman-tamannya, jika ia memiliki ilmu terbanyak dengan ilmu akhlak tercapai cita-cita. Jika engkau menginginkan ilmu, janganlah engkau sombong.
Kepada putra-putri Alkhairaat, ku akhiri seruanku, barangkali di antara putra-putrinya yang menonjol memimpin pengajaran di waktu-waktunya, Dialah (Allah) yang meminjamin rezekinya. (disari dari syair-syair Guru Tua). Wallahul Musta’an

Sang Ikon Keteladanan

BAGI Allah swt, Nabi Ibrahim adalah sosok yang istimewa. Tak percaya ? Coba simak firman-Nya: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang bersama dengan-nya” (QS. Al-Mumtahanah : 4). Ayat ini, sangat jelas menunjukan betapa Allah swt., memuliakan Nabi Ibrahim.
Lantas mengapa beliau begitu dimuliakan ? Apakah karena keturunannya, Karena menjadi bapak para Nabi ? Ataukah hartanya, kekuatanya, Atau keperkasaanya ? Tidak ! Beliau termuliakan karena keimanan dan ketaatanya kepada Allah swt.
Keimanan Nabi Ibrahim terbangun dari proses pencarian dirinya secarara rasional terhadap eksistensi Allah swt. Beliaulah yang pertama kali dapat membuktikan keesaan Allah SWT secara rasional dan menolak ketuhanan tuhan-tuhan lainnya secara rasional pula (lihat, QS. Al-An’am : 74-78). Wajar jika sejarah mencatat Beliau sebagai Bapak “Monoteisme” (Tauhid).
Keimanan Nabi Ibrahim kepada Allah swt., dibarengi pula dengan ketaatan yang luar biasa yang mewujudkan pada tindakan yang niscaya teramat sulit ditunaikan manusia pada umumnya. Keteguhan untuk menjalankan dakwah meski berlawanan dengan orang tuanya, dan berhadapan dengan penguasa yang dzalim. Keteguhan menjalankan amanah Allah berupa kesetiaan menjaga istrinya yang sedang mengandung keturunannya, menemaninya hingga kesuatu tempat yang sangat jauh dari keramaian.
Karena keimanan dan ketaatan itu pula membuat Nabi Ibrahin rela megorbankan segala miliknya. Bahkan rela mengorbankan putera tercintanya, Ismail, dengan cara disembelih demi melaksanakan amanah Allah swt. Kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah swt., telah mengalahkan kecintaanya kepada anaknya.
Menjadi wajar manakalah Allah swt., memuliakannya sebagai ikon (simbol) keteladanan bagi ummat sesudahnya. “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian .“ (QS. As-Shofat : 108).
Idul Adha adalah salah satu bentuk award (pemuliaan) Allah swt., atas Nabiyullah Ibrahim. Sebuah proses Pengabadian tentang “cinta makhluk kepada sang Khalik yang melebihi segalanya”. Itulah sebabnya, Allah swt., menjadikan peristiwa penyembelihan Ismail oleh Nabi Ibrahim, sebagai ubudiyah mahda yang saban tahun kita rayakan dengan menyembelih hewan kurban. Dalam Idul Adha, ketabahan Nabi Ibrahim merelakan puteranya disembelih, dapat kita wujudkan dalam kerelaan kita berbagai daging kurban untuk membahagiakan para tetangga, lingkungan dan saudara-saudara umat Islam lainnya.
Pemuliaan terhadap Nabi Ibrahim, ternyata tidak hanya dengan Idul Adha. Ibadah Haji juga merupakan bentuk lain pemuliaan itu. Sebab Beliaulah bersama puteranya Ismail yang membangun (kembali) fondasi-fondasi Ka’bah (lihat, Q.S. Al-Baqarah : 127).
Ibnu Abbas mengungkapkan bahwa setelah Nabi Ibrahim selasai membangun Ka’bah maka Allah berfirman kepadanya : “Serulah manusia untuk pergi haji”. Nabi Ibrahim agak ragu, apakah suara panggilannya akan didengarkan atau tidak. Ibrahim berkata : “Wahai Tuhanku, bagaimana suaraku ini bisa sampai ?” Kemudian Allah berfirman : “Seru sajalah, Aku (Allah) yang akan menyampaikannya” . Kemudian naiklah Nabi Ibrahim ke Jabal Qubaisy dan menyeru : “Wahai manusia ! Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu untuk berhaji dirumah Allah ini, agar Allah mengganjar kepadamu syurga dan melepaskan dari siksa neraka, maka berhajilah “. Kemudian orang-orang menyahuti panggilan itu sembari membaca Talbiyah.
Demikianlah, Idul Adha yang saban tahun kita rayakan dan Ibadah Haji yang wajib ditunaikan bagi yang mampu, sesungguhmya tidak semata-mata sebuah ibadah. Tetapi sekaligus momentum untuk meneladani perjuangan dan mengenang hasil perjuangan Nabi Ibrahim. Sebuah perjuangan yang berlandaskan cinta akan Allah swt.
Imam Al-Baidhawi berkata, “Cinta adalah keinginan untuk taat”,sementara, al-Zujaj berkata , “Cinta manusia kepada Allah dan Rasul-nya adalah mentaati keduanya dan ridha kepada semua perintah Allah dan ajaran yang dibawah oleh Rasul-Nya. “ Jadi, Kecintaan dan ketaatan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Dan pengalaman Nabiyullah Ibrahim, menegaskan : “tak ada cinta tanpa ketaatan, dan tak ada ketaatan tanpa pengorbanan”. Wallahul Musta’an.

Rabu, 19 Mei 2010

Kasih Ibu Sepanjang Masa

ALKISAH ada empat orang kakak beradik gugur dalam peperangan membela Islam pada masa pemeritahan Khalifa Umar Bin Khattab. Pemuda-pemuda gagah nan pemberani, menjadi mujahid melalui bimbingan seorang perempuan mulia bernama Khansa binti Amru.
Khansa binti Amru, seorang ibu bagi empat putranya itu, sangat piawai mengobarkan semangat jihad melalui syair-syairnya. Maka tatkala mengetahui ke-empat putranya gugur di medan laga dengan kemenangan Islam gilang-gemilang, Al-Khansa binti Amru terus memuji Allah dengan ucapan :
“Segala puji bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan mensyahidkan mereka (empat anaknya), dan aku mengharapkan dari Tuhanku, agar Dia mengumpulkan aku dengan mereka di tempat tinggal yang kekal dengan rahmat-Nya!” Dari peristiwa peperangan itu pula Sang Ibu mendapat gelar kehormatan Ummu Syuhada.
Memang, betapa beruntungnya menjadi seorang ibu. Baginya terbentang pujian, penghormatan, dan kenangan istimewa dari tiap insan, karena setiap insan terlahir dari rahim seorang ibu. Rahim berarti kasih sayang. Sepotong kata yang enak didengar dan menentramkan. Begitu indah nan Suci.
Sungguhlah tepat Allah swt., yang menganugrahi rahim dalam diri seorang ibu, menjadikanya sumber kasih sayang bagi mahkluk mungil yang dilahirkannya, diasuh dan dibesarkan hingga dewasa, seterusnya bahkan sampai kapan pun jua. Kasih sayangnya akan terus mengalir. Dalam setiap doa dan pengharapan, ibu menginginkan yang terbaik bagi para buah hatinya. Kasih ibu sepanjang masa.
Tugas ilahiah seorang ibu, adalah tugas kodratnya. Sangat mulia dan berat, sehingga mustahil peran tersebut dapat dilaksanakan dengan tepat, tanpa adanya keselarasan jiwa seorang ibu dengan kodrad yang telah dianugrahkan oleh yang Maha Tahu. Jiwa suci penuh nur ilahi seorang ibu, akan mengantarkan putra-putrinya pada kehidupan penuh kemuliaan, kebahagiaan, ketentraman lahir bathin.
Sosok Anas bin Malik misalnya, dengan sentuhan nilai moral Sang ibu (Rumaisha binti Milhan/Ummu Sulaim) semenjak Anas masih kecil, menjadikan putranya tersebut sangat mengenal dan mengasihi Rasulullah Muhammad saw., berikut ajaran beliau yang mulia, meski belum pernah sekalipun bertemu muka dengan Rasulullah saw. Kerinduan Anas untuk bertemu dengan Raslullah begitu membuncah, meluap-luap. . . . hingga ketika tersiar kabar kedatangan beliau saw., ke Madinah, betapa bahagianya Anas bin Malik. Ia seolah tak sabar berjumpa Rasul.
Anas yang masih belia pun akhirnya membaktikan diri untuk melayani Rasulullah SAW, Anas bin Malik menjadi salah seorang “terhebat” dlm menghafal dan menyampaikan haditsnya.
Kisah-kisah di atas, hanyalah wakil dari jutaan kisah hebat seorang ibu dalam membesarkan dan mendidik buah hatinya, hingga menjadi insan mulia yang didambakan. Kita masih bisa menebarkan pandangan dan menemukan kisah-kisah mengagumkan dari seorang ibu yang mungkin tanpa kita sadari, berada di sekitar kita; bahkan pada diri ibunda kita sendiri.
Bayangkan petuah-petuahnya, yang meski sering kita bantah, namun terus mengalir, demi menjaga kita. Atau aktivitasnya yang dulu kita anggap hal sederhana: menyiapkan keberangkatan kita ke sekolah, menemani belajar, membelikan jajan, memilihkan pakaian, memijat badan kita, memegang kening kita, dengan penuh kecemasan. Aduhai Ibu. . ., sungguh indah kenagan bersamamu. Sungguh tak pantas, bila kita tak berbuat baik kepadanya.
Ribuan kilo jarak yang kau tempuh. Lewati rintang untuk aku anakmu. Ibuku sayang masih terus berjalan. Walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah. Seperti udara, kasih yang engkau berikan. Tak mampu ku membalas Ibu. . . Ibu. . . . . . (Iwan Fals). Wallahul Musta’an.

Bahagiaku Surga Mereka Dan Deritaku Pilu Mereka

Aku berdiri mengenakan toga ini di sebuah jalan setepak yang gelap
pandanganku tertuju pada dua orang di kejahuan sana
dengan senyuman yang tak asing di mataku
dua orang yang sangat aku hargai, dua orang yang sangat aku hormati, aku cintai dan aku sayangi ya mereka papa dan mamaku
dengan disertai senyuman aku berjalan menghampiri mereka
seiring dengan langkah terlintas di benakku atas apa yang telah mereka lakukan terhadap hidupku selama ini
mama yang telah mengandungku selama sembilan bulan
mama yang sudah memperjuangkan hidup dan matinya hingga aku dapat hadir di dunia ini, mama juga yang telah merawatku dengan penuh kelembutan dan kasih sayang
papa yang telah mendidikku papa yang rela bekerja banting tulang
ikhlas mengeluarkan keringatnya agar aku dapat menikmati hidup
detik demi detik, hari demi hari, bahkan tahun demi tahun
apakah yang dapat ku lakukan untuk membalas mereka?
sering aku tutup kuping ngak mau dengarin nasehat mereka
sering banget aku bohong kepada mereka untuk kepuasanku
sering aku ngelawan jika mereka marah karna kenakalanku
sering juga aku banting pintu dihadapan mereka jika mereka tidak mengabulkan permintaanku
dan bahkan sering aku mengeluarkan kata-kata kasar yang ngak pantas mereka dengar dari bibirku “dasar cerewet, kuno, kolot” tapi apakah mereka memendam perasaan dendam terhadapku? tidak, tidak sama skali
mereka dapat tulus memaafkan kekhilafanku
mereka tetap menyayangiku dalam setiap hembusan nafas mereka
bahkan mereka tetap menyebut namaku dalam setiap doa-doa mereka hingga aku menjadi seperti skarang ini yaa Tuhan betapa durhakanya aku
tak sadarkah aku bahwa mereka orang yang sangat berarti dalam hidupku
langkah-langkahku terhenti di hadapan mereka dan kupandangi papa dan mamaku inci demi inci
badan yang dulu tegap, kekar kini mulai membungkuk
rambut yang dulu hitam kini mulai memutih
dan kulit mereka yang dulu kencang kini mulai berkriput
kutatap mata mereka yang berbinar-binar dan mulai meneteskan air mata bahagia air mata haru, air mata bangga melihatku memakai toga ini
kucium tangan mereka kupeluk mereka sambil berkata papa, mama, yang aku berikan hari ini tidak akan cukup membalas semua yang telah papa dan mama berikan selama ini kepadaku
trima kasih pa, trima kasih ma, aku sayang papa dan mama hingga akhir hayatku.

Selasa, 18 Mei 2010

Kearifan Lokal Masyarakat Adat (Tau Taa Wana) Di Sulawesi Tengah

Abstrak : Kelompok masyarakat yang berbentuk paguyuban masih terikat dengan tatanan hukum adat, adat istiadat, dan kepemimpinan lembaga adat, memiliki wilayah hukum adat serta memiliki hubungan lahiriah dan bathiniah dengan wilayah hukum adatnya. Opot adalah satuan mukim masyarakat hukum adat Tau Taa Wana yang berbentuk persekutuan kecil dan Lipu adalah satuan mukim masyarakat hukum adat Tau Taa Wana yang berbentuk persekutuan besar atau persekutuan setingkat kampung. Pemukiman masyarakat hukum adat Tau Taa Wana menyebar dibagian hulu Sungai Bongka dan hulu Sungai Salato yang terletak di bagian timur Propinsi Sulawesi Tengah, tepatnya berada di antara Pegunungan Balingara, Batui dan Pompongeo. Wilayah mukim tersebut melintasi 3 (tiga) wilayah administrasi kabupaten, yakni Kabupaten Tojo Una-una, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai. Keberadaan masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana di kawasan tersebut, telah berlangsung secara turun temurun jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mereka percaya bahwa wilayah tersebut adalah "Tana nTau Tua" (tanah leluhur) yang dibuktikan dengan adanya artefak-artefak kuno peninggalan leluhur pada tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan sebagai "Pangale Kapali" (hutan larangan). Sebagai komunitas yang secara turun temurun bermukim di dalam kawasan hutan, sudah tentu keberlanjutan kehidupan masyarakat hukum adat Tau Taa Wana amat bergantung pada kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hutan, baik material maupun kultural. Secara material kebutuhan pangan, sandang, papan, obat-obatan, sarana produksi pertanian, bahan bakar, peralatan rumah tangga, maupun peralatan ritual diperoleh dari sumber daya hutan yang menjadi kekayaan wilayah hukum adatnya. Sedangkan secara kultural, hutan merupakan faktor pembangunan struktur kebudayaan masyarakat hukum adat Tau Taa Wana.
Adat istiadat dan kearifan lokal pengelolaan sumber daya hutan yang diterapkan oleh masyarakat hukum adat Tau Taa Wana secara turun temurun, terbukti mampu mendatangkan keadilan dan kelestarian lingkungan, sehingga sesungguhnya merupakan modal sosial yang amat bermanfaat bagi pembangunan yang berkelanjutan. Namun dengan semakin maraknya kepentingan luar melangsungkan pengelolaan sumber daya alam di dalam dan di sekitar wilayah hukum adat Tau Taa Wana yang lebih mengutamakan pengerukan, dikhawatirkan akan mengancam keberlanjutan kehidupan masyarakat hukum adat Tau Taa Wana.

Untuk menyelamatkan keberlanjutan kehidupan hukum adat Tau Taa Wana dan kelestarian lingkungan wilayah masyarakat hukum adat Taa Wana, sera tata nilai dan/atau norma-norma adat istiadat dan lembaga adat, serta kearifan-kearifan lokal yang merupakan warisan leluhur komunitas masyarakat hukum adat Tau Taa Wana, maka dipandang perlu segera menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana.

Minggu, 02 Mei 2010

Mahasiswa dan Pembangunan

Pembangunan merupakan keharusan dalam mewujudkan tujuan kemerdekaan nasional. Sebab, setelah kesatuan wilayah dan bangsa Indonesia tercapai, maka langkah selanjutnya dalam pengisian kemerdekaan adalah seperti tercantum dalam Primbol UUD 1945, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Cita-cita pembangunan ditujukan ke arah pencapaian masyarakat yang adil dan makmur, baik materil maupun spiritual. Oleh karena itu pembangunan menyangkut semua segi kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia, tegasnya, membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan merupakan pekerjaan yang berat dan kompleks, dan hanya akan berhasil apabila didukung oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang bhineka (pluralistis).
Mahasiswa sebagai bagian masyarakat dan bangsa Indonesia yang sedang belajar di perguruan tinggi, harus dan seharusnya memikul tanggungjawab dalam pembangunan. Sebagai generasi muda yang sedang belajar di perguruan tinggi, mahasiswa merupakan “Human Invesment” yang berkualitas tinggi, yakni menjadi obyek dari pembangunan. Di lain pihak, sebagai suatu kelompok masyarakat, mahasiswa merupakan subyek pembangunan yang seharusnya memberikan dharma-baktinya terhadap pembangunan. Kedua hal ini sebagai obyek dan sebagai subyek pembangunan hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Mahasiswa adalah bagian generasi masyarakat, tegasnya generasi muda yang karena kualitas mendapat kesempatan untuk menuntut ilmu pengetahuan di perguruan tinggi. Karena kualitas itulah, maka mahasiswa merupakan kelompok terbaik generasinya, kelompok elite dalam generasi muda dengan sifat-sifat kepeloporan, keberanian dan kritis.
Hak istimewa mahasiswa terutama terletak pada adanya kesempatan yang dipunyainya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Karena itu kewajibannya yang utama ialah berusaha agar haknya itu tidak berlalu dengan sia-sia, yaitu mahasiswa berkewajiban menjadikan diri mereka pemilik ilmu pengetahuan dan penguasa keterampilan, untuk dibaktikan kepada rakyat dan tanah air dalam pembangunan. Mahasiswa haruslah diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kualitas kepribadiannya dengan sebaik-baiknya, agar dapat menjadi seorang intelektual sejati. Seorang intelektual yang mendalam dan terampil dalam disiplinnya (spesialisasinya) tetapi mampu bekerja interdisipliner, dapat berkreasi dan berpendapat sendiri serta berani menyatakan pendapatnya itu dengan bebas. Dengan demikian mahasiswa akan merupakan “Human Invesment” yang berkualitas tinggi “tomorrow’s decision maker” yang memiliki integritas intelektual dan integritas kepribadian.
Dari segi lain, mahasiswa adalah bagian dari civitas academika yang dalam tradisinya memiliki kebebasan ilmiah dan kebebasan mimbar. Oleh karena itu perguruan tinggi merupakan pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dengan sifat-sifatnya yang bebas, tidak mempunyai kepentingan langsung (non-interest) dan hanya memihak kepada kebenaran dalam mengemukakan penilaian dan pendapatnya. Bahkan banyak bukti-bukti yang dapat dikemukakan dimana civitas academika tampil sebagai pendobrak kemacetan dalam negaranya, di antaranya seperti di Korea pada zaman Presiden Syahgman Rhee, Universitas Sarbonne di Perancis pada zaman Presiden De Gaulle, Universitas Ondurman di Sudan, dan masih segar dalam ingatan kita pada akhir zaman Presiden Soekarno (Orla) dan tragedi Trisakti 1998 yang meruntuhkan rezim pemerintahannya Presiden Soeharto (Orba) dan yang lain sebagainya di belahan dunia. Apabila civitas academika muncul ke depan, selalu mendapat sambutan luas dari masyarakat. Mengapa? Karena sifat-sifatnya yang bebas, non-interest serta hanya memihak kepada kebenaran, sehingga dalam pandangan mayarakat perguruan tinggi merupakan kubu tempat mempertahankan sendi-sendi intelektual, sendi-sendi kebudayaan dan sendi-sendi moral. Mahasiswa sebagai generasi muda kampus haruslah dipersiapkan untuk menjadi pewaris dan pelanjut tradisi civitas academika tersebut.
Seperti telah dinyatakan bahwa mahasiswa harus dan seharusnya memikul tanggungjawab dalam pembangunan. Peranan mahasiswa dalam pembangunan ini haruslah disesuaikan dengan dan didasarkan pada kedudukan dan spesialisasinya. Setiap partisipasi dalam suatu kegiatan dimulai dengan adanya pengertian tentang bentuk-bentuk dan tujuan daripada kegiatan itu serta nilainya bagi manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Dengan pengertian yang mantap akan menimbulkan rasa ikut punya, yang selanjutnya melahirkan sikap-sikap yang konstruktif dan bertanggungjawab, serta keinginan yang sungguh-sungguh agar kegiatan itu mencapai sasarannya dengan sukses dan terhindar dari kegagalan. Demikian pula halnya dengan pembangunan. Oleh karena itu mahasiswa perlu diberi pengertian tentang masalah-masalah yang menyangkut pembangunan, baik yang berupa segi-segi teoritisnya, yakni dengan meninjaunya dari berbagai disiplin ilmiah seperti ekonomi, teknologi, sosiologi, psikologi, administrasi dan lain sebagainya, maupun yang berupa segi-segi praktisnya, seperti bagaimana tatacara yang harus ditempuh untuk mewujudkan suatu proyek pelita dan sebagainya. Mungkin hal ini dapat dilaksanakan dalam bentuk pemberian studium generale tentang pembangunan.
Pembangunan berarti perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih sempurna, baik dalam segi-segi fisik maupun segi-segi sosial-kultural dan sikap hidup (attitude). Peranan perguruan tinggi sebagai “creative minority” sangat penting, artinya dalam mendorong perubahan-perubahan tersebut. Oleh karena itu mahasiswa dengan sifat-sifat kepeloporan, keberanian dan kritis akan merupakan “agent of change”, motor penggerak perubahan-perubahan sosial kultural dan sikap hidup yang akan menopang pembangunan. Peranan ini akan dapat diwujudkan baik dalam bentuk-bentuk yang formal seperti program masuk desa, bimas, dan sebagainya, maupun yang informal terutama untuk kelompok-kelompok sosial darimana mahasiswa yang bersangkutan berasal. Hal yang terakhir ini sangat penting bila diingat bahwa masyarakat kita masih bhineka (pluralistis).
Disamping itu, partisipasi yang mungkin dilaksanakan mahasiswa dalam pembangunan secara langsung adalah dibidang penelitian dan kuliah kerja atau praktikum. Penelitian daerah sangat diperlukan dalam penentuan kebijaksanaan pembangunan, baik pembangunan sektoral maupun regional. Untuk hal tersebut mahasiswa dapat memberikan sumbangannya dengan melaksanakan penelitian terutama yang telah atau akan ada (seperti Regional Scientific Development Center). Sedang peranan melalui kuliah kerja atau praktikum akan besar manfaatnya bukan hanya bagi pembangunan tetapi juga memberikan manfaat atau pengalaman praktis bagi mahasiswa yang bersangkutan. Partisipasi ini dapat dilakukan melalui badan konsultasi atau lembaga pengabdian masyarakat.
Dari segi lain, mahasiswa sebagai kelompok yang bebas dan kritis-obyektif, akan sangat peka dan perasa terhadap peristiwa-peristiwa yang menyimpang dari kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu mahasiswa dapat berperan sebagai kekuatan moral (moral force) yang akan dapat melakukan kontrol sosial (social control) yang bertanggungjawab terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak sesuai dengan idealismenya. Kontrol sosial tersebut sebagai manifestasi perbedaan penilaian dan pendapat, dapat pula mengembangkan pada diri mahasiswa sikap mengakui dan menghormati hak orang atau kelompok lain untuk menyatakan pendapat dan pendiriannya sebagai masyarakat minimal dalam suatu masyarakat demokratis, terlebih-lebih bagi kita di Indonesia dengan masyarakat yang pluralistis. ***