Kamis, 20 Mei 2010

Amalan Lahir vs Amalan Hati

DI zaman Nabi Musa a.s., ada seorang hamba Allah yang selama 40 tahun kerjanya mencuri. Suatu hari, dilihatnya Nabi musa a.s. sedang berjalan. Tiba-tiba terlintas di benaknya untuk berjalan bersama Nabi Musa a.s. “Jika aku dapat berjalan bersama Nabi Musa, mudah-mudahan ada berkahnya untukku,” katanya dalam hati.
Namun dia kembali ragu. “Aku ini pencuri, mana layak berjalan bersama seorang nabi,” pikirnya mengurungkan niatnya semula.
Sejurus kemudian, dia melihat seorang abid (ahli ibadah) berlari-lari kecil mengejar Nabi Musa a.s. dari belakang. Semua orang tahu, si abid ini telah beribadah secara istiqomah selama 40 tahun. Si pencuri itu berkata dalam hati, “sebaiknya, aku berjalan bersama si abid ini saja. Moga-moga ada baiknya untuk aku.”
Lantas si pencuri menghampiri si abid untuk meminta diperkenankan bejalan bersama. Tapi ketika dia mulai mendekat, si Abid terkejut dan merasa takut. “Celaka aku..! Kalau si pencuri berjalan bersamaku, bisa-bisa rusak segala kebaikan dan amalanku,”katanya dalam hati.
Maka si abid pun mempercepat larinya untuk menghindari si pencuri. Demikian halnya dengan si pencuri. Dia juga mempercepat larinya mendekati si abid. Akhirnya keduanya sampai kepada Nabi Musa a.s.
Nabi Musa a.s. segera berpaling dan bersabda kepada mereka berdua: “Aku baru saja mendapat wahyu dari Allah swt., supaya memberitahu kamu bahwa segala amalan baik dan buruk kalian berdua telah dihapus oleh Allah.”
Mendengar sabda itu, terkejutlah mereka berdua. Tentu saja si pencuri terkejut bahagia, karena segala dosanya mencuri selama 40 tahun telah ditolak oleh Allah.
Rupanya si pencuri itu tidak suka dengan pekerjaanya. Dia mencuri karena terpaksa, karena miskin dan tanggungannya banyak. Tak ada orang yang mau membantunya. Setiap kali dia mencuri, dia selalu merasa bersalah dan berdosa. Jiwanya tersiksa dan menderita selama 40 tahun itupula hatinya merintih meminta belas kasihan, keampunan dan mengharapkan kasih sayang Tuhan.
Akan halnya si abid, dia amat yakin ibadahnya mampu menyelamatkannya. Dia yakin ibadahnya akan dapat membeli syurga. Setiap kali dia beribadah, dia merasa dirinya bertambah baik. Setiap kali beribadah, dia rasa dirinya bertambah mulia. Selama 40 tahun dia mendidik hatinya agar merasa lebih baik dan lebih mulia. Hingga dia mulai merasa tidak layak bergaul, apalagi berjalan bersama orang hina dan pendosa. Dia merasa hanya layak berjalan bersama para Nabi.
Tapi begitulah, Allah maha mengetahui segala isi hati manusia. Yang tidak melihat akan amalan-amalan lahir tetapi apa yang ada di dalam hati. Yang menilai hamba-Nya mengikut apa yang termampu oleh hamba-Nya dan tidak lebih dari itu. Yang menguji manusia dengan kesusahan dan nikmat untuk mengetahui siapa di kalangan hamba-hamba-Nya yang benar-benar berjiwa hamba dan merasa bahwa Allah itu Tuhannya. Wallahul Muata’an.

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al kitab (al-qur’an) dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingati Allah (sholat) adalah lebih besar (keutamaanya dari ibadah-ibadah yang lain) dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Surah Al’Ankabut – 45)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar