Kamis, 20 Mei 2010

Ayam Kampung vs Ayam Negeri

SUATU hari, seorang ayah dan anak laki-lakinya sedang memberi makan ayam peliharaan mereka. Ada ayam kampung, ada juga ayam negeri. “Nak, kalau harus memilih, mana yang kau lebih suka, menjadi ayam negeri atau ayam kampung,“ Tanya sang ayah iseng.
“Ini hanya sebuah permisalan. Bila kelak kau dewasa, ada dua cara hidup yang kau pilih. Seperti ayam negeri atau mau seperti ayam kampung,“ jelas ayahnya.
“Hmm. . . aku tahu ! Aku akan memilih cara hidup ayam kampung. Ia selalu bebas pergi kemana saja ia mau. .”, jawab sang anak dengan antusias dengan senyumnya.
Sang ayah ikut tersenyum, membenarkan pilihan anaknya. “Selain kebebasan, masih banyak hal lain yang bisa kita ambil dari kehidupan ayam kampung, dibanding ayam negeri , “ tambah sang ayah, sambil menjelaskan perbandingan cara hidup ayam kampung dan ayam negeri.
Pertama, ayam kampung selalu bebas pergi ke mana saja mencari makan, bermain, dan bercengkrama. Pada malam hari bisa tidur seadanya di mana saja. Sedangkan ayam negeri siang malam ada di kandang yang nyaman dan bersih. Kesehatan lingkunganya di jaga, bahkan temperatur ruangan harus selalu diatur dengan nyala lampu agar tetap hangat.
Kedua, ayam kampung mandiri dalam mencari makanan. Berjuang sendiri menyibak semak-semak, mengorek sampah, merambah selokan. Bahkan berpanas hujan menyantap apa saja yang didapat demi menyambung hidup yang keras dari hari ke hari. Sementara ayam negeri, disediakan makanan khusus oleh majikanya. Penuh gizi dan bebas hama. Jadwal teratur, dan tidak boleh menyentuh makanan sembarangan. Sekali-kali pada waktu-waktu tertentu, ayam negeri juga diberi suntikan agar lebih sehat dan produktif.
Ketiga, meskipun dimanjakan fasilitas hidup yang nyaman dan instan, ternyata ayam negeri sangat sensitif. Jika terjadi penyimpangan ritme (cara) hidupnya, maka sakitlah dia. Bahkan jika satu saja sakit, yang lain pun cepat tertular penyakit temanya dan akhirnya semua mati. Beda dengan ayam kampung. Tubuhnya sehat dan kuat. Berkat gemlengan alam, dia memiliki kekebalan terhadap perubahan kondisi. Dia pun memiliki rasa pengorbanan, tidak ragu untuk menyibak semak, mengorek sampah dan merambah selokan, berpanas dan berhujan sambil membimbing anak-anaknya mencari makan, agar mereka tegar seperti induknya.
“Jadi, meskipun ayam negeri bergelimang kenyamanan hidup, ternyata dia sudah kehilangan identitasnya sebagai mahluk bebas. Statusnya sudah diubah oleh manusia. Mesin penghasil telur dan daging secara massal untuk kepentingan manusia. Sedangkan ayam kampung tetap menikmati kodratnya sebagai mahluk bebas dan mandiri,” ungkap sang ayah mengakhiri penjelasanya.
Dua gaya hidup di atas tentu saja mengandung lesson learn (hikmah) yang bisa kita serap sebagai pelajaran meniti hidup. Semaunya terpulang kepada kita, khususnya generasi muda sebagai asset ummat ke depan. Apakah mau memilih gaya hidup ayam kampung atau ayam negeri ? Wallahul Musta’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar